Notifikasi

Memuat…

Chapter 1

 "Awal yang Tak Terduga"

Matahari pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya, atau mungkin itu hanya perasaan Lara yang sedang diliputi kebahagiaan karena pertemuan dengan sahabat lamanya, Rina. Mereka sudah bersahabat sejak SMA, dan meskipun sekarang keduanya sibuk dengan kehidupan masing-masing, mereka selalu menyempatkan diri untuk bertemu dan berbagi cerita.


Hari ini, Rina mengajak Lara ke rumahnya untuk makan siang. Rina telah menikah dengan Arman, seorang pria yang ramah dan penuh perhatian. Lara sudah mengenal Arman sejak awal hubungan mereka, dan dia selalu menganggapnya sebagai teman baik. Namun, sesuatu yang aneh terjadi pada pertemuan kali ini.


Ketika Lara tiba di rumah Rina, dia disambut dengan senyum lebar oleh sahabatnya. "Lara! Sudah lama sekali, aku sangat merindukanmu!" Rina memeluknya erat.


"Aku juga, Rina. Bagaimana kabarmu?" tanya Lara sambil membalas pelukan itu.


Rina mengangguk. "Aku baik-baik saja. Ayo masuk, Arman sudah menyiapkan makan siang."


Ketika Lara masuk ke dalam rumah, aroma makanan yang menggoda langsung menyeruak. Di ruang makan, Arman sedang sibuk mengatur meja. Dia menyambut Lara dengan senyum hangat. "Hai, Lara. Senang melihatmu lagi. Bagaimana kabarmu?"


Lara merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. "Hai, Arman. Aku baik, terima kasih. Kamu bagaimana?"


Arman mengangguk. "Aku baik. Silakan duduk, makanannya hampir siap."


Sepanjang makan siang, Lara merasa aneh. Setiap kali dia bertemu pandang dengan Arman, dia merasakan sesuatu yang berbeda. Seperti ada getaran yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Tapi dia mencoba mengabaikan perasaan itu, meyakinkan dirinya bahwa itu hanya imajinasinya saja.


Setelah makan siang, mereka bertiga duduk di ruang tamu sambil minum teh. Rina dan Arman bercerita tentang perjalanan liburan mereka baru-baru ini, sementara Lara mendengarkan dengan penuh perhatian. Namun, setiap kali Arman berbicara, Lara merasa perasaannya semakin sulit dikendalikan.


Ketika Lara pulang, pikirannya penuh dengan kebingungan. Apa yang sebenarnya dia rasakan? Mengapa dia merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan terhadap Arman? Dia tahu ini salah, sangat salah. Tapi semakin dia mencoba melupakan perasaan itu, semakin kuat perasaan itu tumbuh.


Hari-hari berlalu, dan Lara merasa semakin tersiksa dengan perasaannya sendiri. Dia tahu dia harus menjauh dari Arman, tapi setiap kali Rina mengajaknya bertemu, dia tidak bisa menolak. Lara merasa terjebak dalam dilema moral yang membuat hatinya hancur.


Suatu hari, saat mereka bertiga sedang bersantai di rumah Rina, Arman tiba-tiba menerima panggilan telepon mendadak dari kantor. Dia harus pergi cepat-cepat karena ada urusan penting. Rina mengantar Arman ke pintu, sementara Lara tetap di ruang tamu.


Ketika Rina kembali, dia tampak sedikit cemas. "Lara, maaf ya. Arman harus pergi karena ada masalah di kantor. Aku harap kamu tidak keberatan."


Lara menggeleng. "Tidak apa-apa, Rina. Aku mengerti."


Namun, saat mereka kembali duduk, Rina tiba-tiba menatap Lara dengan tatapan yang serius. "Lara, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."


Lara merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Apa itu, Rina?"


Rina menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku merasa akhir-akhir ini Arman berbeda. Dia sering terlihat melamun, dan kadang-kadang dia tampak tidak fokus saat berbicara denganku. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres."


Lara merasa darahnya membeku. "Maksudmu, kamu curiga ada sesuatu yang salah dengan Arman?"


Rina mengangguk pelan. "Ya, aku tidak tahu pasti apa itu. Tapi aku merasa ada yang mengganggu pikirannya. Aku hanya berharap dia akan berbicara padaku jika ada masalah."


Lara merasa hatinya hancur mendengar kekhawatiran sahabatnya. Dia ingin mengatakan yang sebenarnya, mengungkapkan perasaannya dan mengakhiri kebohongan ini. Tapi dia tahu, itu akan menghancurkan Rina dan merusak persahabatan mereka selamanya.