Chapter 2
"Jejak Kecurigaan"
Pagi itu, Arina bangun dengan tekad baru. Ia berencana untuk menggali lebih dalam tentang perubahan sikap Daffa. Ia memutuskan untuk mulai dengan ponsel Daffa, meskipun hatinya diliputi rasa bersalah. Namun, rasa penasaran dan kecurigaan yang semakin besar mengalahkan rasa bersalah itu.
Ketika Daffa sedang mandi, Arina melihat ponselnya tergeletak di meja. Tangannya gemetar saat ia mengambil ponsel itu dan membuka kunci layar. Beruntung, Daffa tidak mengubah kata sandinya. Dengan cepat, Arina membuka aplikasi pesan. Ia membaca beberapa pesan terakhir dan menemukan percakapan dengan seorang wanita bernama Nadine. Percakapan mereka terasa sangat akrab dan penuh canda tawa, sesuatu yang sudah jarang ia rasakan dari Daffa.
Arina merasa hatinya hancur saat membaca pesan-pesan itu. Ia menutup ponsel Daffa dan mengembalikannya ke tempat semula sebelum Daffa selesai mandi. Saat Daffa keluar dari kamar mandi, Arina berusaha menyembunyikan perasaannya, tetapi dalam hatinya, ia merasa sangat terluka dan dikhianati.
Malam itu, Arina tidak bisa tidur. Pikirannya penuh dengan bayangan Daffa dan Nadine. Siapa Nadine? Apa yang sebenarnya terjadi antara mereka? Pertanyaan-pertanyaan ini terus menghantuinya.
Hari berikutnya, Arina memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Nadine. Ia mulai dengan memeriksa media sosial Daffa dan menemukan beberapa foto yang diunggah oleh Nadine. Hatinya semakin hancur ketika melihat foto-foto Daffa bersama Nadine, tampak bahagia dan mesra.
Arina tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian ini. Ia memutuskan untuk mengkonfrontasi Daffa. "Kita perlu bicara," kata Arina dengan tegas saat mereka duduk di ruang tamu.
Daffa tampak terkejut. "Ada apa, Arina?"
"Aku tahu tentang Nadine," kata Arina langsung ke pokok masalah. "Siapa dia dan apa hubunganmu dengannya?"
Daffa terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Nadine adalah teman kantor yang aku kenal beberapa bulan yang lalu. Kami memang dekat, tapi itu hanya sebatas teman."
Arina tidak puas dengan jawaban itu. "Hanya teman? Mengapa kamu tidak pernah menyebutkan tentang dia sebelumnya? Mengapa kamu terlihat begitu bahagia saat bersama dia?"
Daffa menghindari tatapan Arina. "Aku tidak ingin membuatmu khawatir. Aku tahu ini salahku, tapi aku benar-benar tidak ada maksud buruk. Nadine hanya seseorang yang bisa membuatku merasa nyaman di saat-saat sulit."
Arina merasa hatinya teriris mendengar pengakuan Daffa. "Jadi, aku tidak bisa membuatmu merasa nyaman lagi?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Arina, ini bukan tentang kamu. Aku yang salah di sini. Aku yang tidak bisa mengendalikan perasaanku," kata Daffa, suaranya penuh penyesalan.
Arina merasa bimbang. Ia mencintai Daffa, tetapi perasaan dikhianati ini terlalu menyakitkan. "Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya," kata Arina akhirnya, sambil bangkit dan pergi ke kamar.
Malam itu, Arina menangis sendirian di kamar. Ia merasa dunianya runtuh, namun ia tahu bahwa ia harus kuat. Ia tidak bisa membiarkan perasaan ini menghancurkan dirinya. Arina memutuskan untuk memberikan waktu bagi dirinya sendiri untuk merenung dan mencari tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Dengan hati yang hancur dan pikiran yang penuh dengan berbagai pertanyaan, Arina memulai perjalanan baru dalam hidupnya, mencari jawaban dan mungkin, menemukan kembali kebahagiaan yang hilang.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
