Chapter 3
"Perjalanan Emosi"
Sudah beberapa minggu berlalu sejak insiden di rapat strategis itu. Suasana di kantor kembali stabil, namun gosip tentang Adrian dan Nia masih terus beredar di antara karyawan. Meskipun demikian, Adrian dan Nia berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaan mereka dan menjaga profesionalisme.
Di luar jam kerja, Adrian dan Nia kadang-kadang bertemu untuk membahas proyek-proyek mendatang atau hanya untuk mengobrol santai di kafe di sekitar kantor. Hubungan mereka semakin erat, namun kedua belah pihak berusaha untuk tidak melampaui batas profesional.
Pada suatu sore yang cerah, Adrian mengundang Nia untuk menemani rapat persiapan dengan klien penting. Keduanya duduk berdampingan di ruang konferensi, membahas detail dan strategi yang akan mereka presentasikan kepada klien. Nia menyuguhkan ide-ide segar dan analisis mendalam yang membuat Adrian semakin mengaguminya.
Setelah rapat selesai, mereka menghabiskan waktu bersama untuk makan malam ringan di restoran dekat kantor. Suasana yang santai membuat mereka berdua merasa lebih nyaman untuk berbagi cerita dan pikiran.
"Kamu luar biasa, Nia. Saya benar-benar menghargai kontribusimu dalam proyek ini," puji Adrian dengan tulus.
Nia tersenyum, merasa bangga atas apresiasi dari Adrian. "Terima kasih, Pak Adrian. Saya senang bisa berada di sini dan membantu perusahaan," jawabnya dengan rendah hati.
Namun, di tengah kehangatan mereka, Nia merasa sebuah panggilan telepon yang masuk ke ponselnya. Dia menyadari bahwa itu adalah panggilan dari teman lamanya, David, yang telah pindah ke luar negeri untuk mengejar karirnya.
"Saya minta maaf, Pak Adrian, saya harus mengambil panggilan ini," ucap Nia sambil meninggalkan meja.
Adrian mengangguk mengerti dan melanjutkan makan malamnya sendiri. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi ketika Nia kembali ke meja. Dia melihat Adrian sedang duduk berhadapan dengan seorang wanita muda berambut pirang yang tersenyum manis kepadanya.
"Nia, ini Sophie, teman lama saya dari luar negeri. Dia kebetulan di Jakarta dan saya mengajaknya untuk bergabung bersama kita untuk makan malam," jelas Adrian dengan ramah.
Nia merasa ada yang tidak beres dalam hatinya, meskipun dia mencoba untuk menyembunyikan perasaannya. Dia merasa cemburu melihat Adrian berbicara dengan Sophie dengan begitu santainya, seolah-olah mereka memiliki ikatan yang kuat.
Malam itu, suasana makan malam terasa tegang bagi Nia. Dia mencoba untuk tetap tersenyum dan berbicara, namun perasaannya campur aduk. Di satu sisi, dia merasa tidak berhak merasa cemburu karena statusnya hanya sebagai asisten. Di sisi lain, Nia merasa bahwa ada yang berubah dalam dinamika hubungan mereka setelah kehadiran Sophie.
Setelah makan malam selesai, Nia dengan cepat mengucapkan terima kasih kepada Adrian dan Sophie sebelum pergi. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri di perjalanan pulang, tetapi perasaannya masih berkecamuk di dalam dirinya.
Sementara itu, Adrian merasa terganggu dengan reaksi Nia. Dia menyadari bahwa kehadiran Sophie mungkin telah menimbulkan kebingungan di hati Nia. Adrian tidak pernah bermaksud untuk menyakiti hati Nia, tetapi dia juga merasa perlu menjaga keseimbangan antara kehidupan profesional dan pribadinya.
Hari-hari berlalu, dan hubungan Adrian dan Nia semakin rumit. Mereka berdua berusaha untuk menyeimbangkan antara perasaan pribadi dan tuntutan profesional mereka. Namun, pertanyaan besar menghantui pikiran mereka: apakah mereka akan bisa menemukan jalan keluar dari labirin emosi ini tanpa mengorbankan apa yang mereka nilai?
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
