Chapter 2
"Benih Kecurigaan"
Rani terbangun dengan hati yang gelisah. Pikirannya terus-menerus berputar pada pesan singkat yang ditemukan di ponsel Reza. Perasaannya campur aduk antara kecurigaan dan ketidakpercayaan. Dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin pesan itu hanya salah paham atau candaan antara kakak dan adik. Namun, instingnya mengatakan hal lain.
Hari itu, Rani memutuskan untuk lebih memperhatikan gerak-gerik Dinda dan Reza. Dia berusaha bersikap biasa saja, menyembunyikan kecurigaannya di balik senyum. Tapi setiap kali Dinda mendekati Reza, hatinya berdebar lebih cepat.
Di sore hari, ketika Reza sedang mandi, Dinda menghampiri Rani yang sedang memasak di dapur.
"Kak Rani, bisa aku bantu?" tanya Dinda dengan senyum manisnya.
Rani mengangguk. "Tentu, Dinda. Kamu bisa memotong sayuran ini."
Mereka bekerja dalam diam untuk beberapa saat. Rani mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya pada Dinda tentang pesan itu. Akhirnya, dia tidak bisa menahan diri lagi.
"Dinda, aku menemukan pesan di ponsel Reza tadi malam," kata Rani pelan. "Pesan dari kamu."
Wajah Dinda tampak sedikit kaget, tapi dia segera menyembunyikannya di balik senyuman lebar. "Oh, itu... Mungkin aku sedang bercanda saja, Kak. Kamu tahu aku suka menggoda Kak Reza."
Rani mengangguk, meski hatinya masih ragu. "Aku harap begitu, Dinda. Tapi tolong, jangan membuat candaan yang bisa disalahartikan. Aku ingin kita semua nyaman di sini."
Dinda tersenyum dan memeluk Rani. "Maaf kalau aku membuatmu khawatir, Kak Rani. Aku tidak bermaksud begitu."
Percakapan itu tidak sepenuhnya menghilangkan keraguan Rani, tetapi dia mencoba untuk memberikan Dinda manfaat dari keraguan. Dia berharap semuanya hanyalah salah paham dan perasaannya akan membaik seiring waktu.
Namun, malam harinya, ketika mereka duduk bersama menonton televisi, Rani tidak bisa menahan rasa cemburu yang semakin membesar. Dinda lagi-lagi duduk terlalu dekat dengan Reza, tertawa terlalu keras pada setiap lelucon yang dia buat. Rani merasakan ada sesuatu yang tidak biasa dalam cara Dinda memandang kakaknya.
Ketika Reza pergi ke kamar mandi, Rani berbisik kepada Dinda, "Dinda, bisa kamu duduk sedikit jauh dari Reza? Aku merasa tidak nyaman."
Dinda mengangkat alisnya, tampak bingung. "Kenapa, Kak? Aku hanya duduk di sini. Kita kan keluarga."
Rani mendesah. "Tolong, Dinda. Hanya untuk malam ini."
Dinda mengangguk, meski tampak enggan. Dia berpindah tempat duduk, tapi senyum tipis di wajahnya membuat Rani semakin merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
Malam itu, Rani tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya terus-menerus dipenuhi dengan bayangan Dinda dan Reza. Dia memutuskan untuk berbicara dengan Reza lagi keesokan harinya, lebih tegas kali ini.
Pagi harinya, saat mereka sedang sarapan, Rani mencoba mengutarakan perasaannya sekali lagi. "Reza, aku benar-benar merasa tidak nyaman dengan kedekatanmu dan Dinda. Mungkin kita bisa menetapkan batasan yang lebih jelas."
Reza menatap Rani dengan tatapan lembut, tetapi juga kebingungan. "Sayang, kamu tahu aku hanya menganggap Dinda sebagai adikku. Tidak ada yang lebih dari itu."
"Tapi Reza, perasaanku tidak bisa berbohong. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres."
Reza menarik napas panjang. "Baiklah, Rani. Aku akan mencoba menjaga jarak dengan Dinda. Tapi tolong, jangan terlalu curiga. Aku mencintaimu dan hanya kamu."
Rani merasa lega mendengar janji Reza, meski hatinya masih belum sepenuhnya tenang. Dia tahu bahwa kejujuran dan kepercayaan adalah kunci dalam hubungan mereka, dan dia berharap kecurigaannya tidak akan merusak pernikahan mereka.
Namun, di balik senyum tenang Reza, Rani masih merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Apakah Reza benar-benar tidak menyadari perasaan Dinda, ataukah dia juga menyembunyikan sesuatu? Episode kedua berakhir dengan Rani yang masih terjebak dalam lingkaran kecurigaan dan kebingungan, berusaha mencari kebenaran di antara bayang-bayang.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
